Review Buku: Amor Fati by Rando Kim #5

Its my twenty nineteen first update!
Lama juga ya hiatusnya, program untuk ‘lebih rajin’nya masih angin anginan. Dan seperti biasa, aku malah bakal update di saat liburan seperti saat ini. Ini libur semester 5 menuju semester 6. Udah mulai semester kritis dimana harus mulai serius lebih dari biasanya (emang biasanya w pernah serius serius amat?) dan sepertinyaa ini bakal jadi liburan kuliah terakhir yang tanpa beban kuliah karena liburan berikutnya aku harus berurusan dengan KKP, KKN dsb. Jadi sebenarnya liburan kali ini tadinya udah mau malas malasan aja menikmati nyamannya rumah. Sampe kemudian datanglah bidadari tanpa sayap yang meminjamkan buku menarik yang insyaa Allah berguna untuk dibaca. Kita mulai aja ya review nya..

Judul : Amor Fati –cintai takdirmu-
Penulis : Rando Kim
Tempat terbit : Jakarta
Penerbit : Bhuana Ilmu Populer
Tahun terbit pertama : 2012
Jumlah halaman : 321
ISBN : 550000306 9786023946532 (barcode nya ada 2, bingung aku tu)

Sinopsis di cover belakang:
Buku ini ditulis untukmu yang sedang goyah dan berdiri di ambang pintu kedewasaan. Aku berpikir bahwa “dewasa” bukan merujuk pada satu “titik” dalam perkembangan manusia, melainkan sebuah “proses” untuk mampu mengatasi cobaan hidup. Kita menjadi dewasa setelah mengalami berbagai cobaan dan belajar sedikit demi sedikit tentang kehidupan.
Sebenarnya, kita semua memiliki cobaan yang tidak bisa kita selesaikan dengan seluruh tenaga sekalipun. Karena itu, terimalah takdirmu, bertahanlah, jadikan ia teman. Pada akhirnya, kamu akan bisa melewatinya dengan baik, belajar setahap demi setahap “cara” mencintai takdir itu. Jika kita tabah melewati kerikil dalam takdir kita yang curam dan kasar, suatu saat kita pasti akan tiba di jalan kebahagiaan yang telah menunggu.
Mari kita lewati hari ini. Ada mantra yang harus kita hafal agar bisa melaluinya. Mantra yang harus dirapal dengan sungguh-sungguh seperti seorang penganut taat yang sedang berdoa, mantra yang tak terasa dapat mengubah diri dan takdir kita:
Amor fati. Cintai takdirmu!

Sebelum membahas lebih jauh, aku ingin mengingatkan bahwa buku ini bukan novel yang menceritakan telenovela. Kalo kalian main ke gramedia, buku ini adanya di rak Referensi/Pengembangan Diri. Jadi kalian sudah harus bisa menduga isinya bakal ke arah apa.
Buku biru ini di Indonesia merupakan cetakan kedua pada tahun 2018 dan seperti yang bisa dilihat dari cover nya, ada keterangan “KOREAN BEST SELLER”. Oh iya, penulisnya bukan orang Indonesia juga, tapi orang korea yang merupakan profesor dan mentor terbaik di Seoul National University. Dan buku Amor Fati ini merupakan kelanjutan dari buku Time of Your Life. Kata temenku yang meminjamkan buku ini, buku yang pertama lebih diperuntukkan bagi anak SMA yang mau masuk kuliah dan anak kuliahan. Sayangnya buku yang pertama lagi dipinjemin ke orang lain jadi aku belum baca juga.
Untuk isinya sendiri secara keseluruhan aku suka banget, tapi ya karena namanya penulisnya bukan dari Indo, mau gak mau aku harus mengingat kembali bahwa setiap kali kata “negara ini” disebut sebut, maksudnya bukan Indo tapi Korea. Terus juga culture yang disebut-sebut bukan punya Indo tapi Korea, jadi gak semua hal bisa di relate ke kita gitu. Untungnya nih, aku seneng banget nonton drakor. Terus seneng nontonin vlog orang Indo yang di Korea (amelicano) atau orang Korea yang bisa bahasa Indo di youtube (salah satunya SunnydahyeIn dan Korea Reomit), jadi aku sudah lebih banyak paham bagaimana culture nya mereka.

Di buku ini aku menaruh lumayan banyak sticky page markers buat nandain kata-kata yang kusuka. Seperti yang kubilang, karena ini diambil berdasarkan kehidupan sehari-hari di negara ginseng itu, banyak hal yang sebenarnya menarik tapi gak bisa di relate ke kita sebagai orang Indo, atau bahkan di relate ke kita as a muslim. Jadi be positive aja ya, diambil yang menarik dan menginspirasi. Dan karena buku ini isinya per bab ada cerita tersendiri, jadi aku bakalan mengulas kata-kata yang kutandai dan membahasnya sedikit jika bisa.

Baru masuk prolog aja aku udah suka banget sama kata-kata ini, “anak muda mungkin memperoleh masa mudanya secara alami, tetapi tidak demikian halnya dengan orang dewasa. Kita tidak otomatis menjadi dewasa hanya karena bertambah tua atau tidak lulus kuliah. Kita menjadi dewasa setelah mengalami berbagai cobaan dan belajar sedikit demi sedikit tentang kehidupan. Sesulit itulah kita menjadi dewasa.”
Setidaknya itulah yang kebenarannya. Aku memperoleh masa mudaku begitu saja. Dari kecil hingga besar dibesarkan di lingkungan yang sama, bahkan teman-teman yang sama dibawah naungan orang tua. Namun begitu dihadapkan dengan persoalan masa-masa kuliah dan mulai sedikit demi sedikit belajar untuk mengamati dunia kerja, aku mulai takut. Karena menjadi dewasa berarti belajar menghadapi semua persoalan kehidupan.

Mulai memasuki cerita, akhirnya ada yang harus kita pahami dari judul buku ini. Amor fati yang berasal dari bahasa latin yang berarti cintai takdirmu. Sekilas untuk orang-orang yang selama masa hidupnya berada di zona nyaman sepertiku menganggap itu hanya quote biasa saja. Namun kalau dibaca lebih lanjut, aku baru sadar itu quote yang kejam untuk orang-orang yang banyak mengalami cobaan sepanjang hidupnya. Bagaimana caranya mencintai takdir kita yang kejam?
Bila kita berpikir semua ini adalah kesalahan orang lain, tumpukan salju di atas payung pun akan terasa berat. Sebaliknya, bila kita berpikir bahwa ini adalah takdir kita, besi yang dipikul pun akan terasa ringan.
Pada akhirnya, yang menghadapi masalah kita bukan orang lain. Tapi diri kita sendiri. Karenanya kita akhirnya hanya harus menyadari itu adalah takdir kita, dan belajarlah mencintainya.
“Amor fati. Cintai takdirmu. Bertahanlah. Semua pasti berlalu.

Kita harus terbiasa bahwa (sebenarnya) tidak ada lampu merah di persimpangan terpenting dalam hidup.” – Hemingway

Manusia selalu berkata bahwa impian mereka musnah dengan adanya kegagalan. Namun, impian tidak pernah pergi. Diri kitalah yang selalu melarikan diri. Bukan kegagalan yang menjadi masalah, melainkan apa yang bisa dipelajari dari kegagalan itu. Sebuah kegagalan memang membawa sebuah rasa sakit, tetapi dari rasa sakit itu kita bisa berkembang. Lalu, perkembangan diri itu membawa kita lebih dekat kepada mimpi kita.

“Jika tidak akan mencintainya, tinggalkan. Namun jika tidak akan meninggalkannya, maka cintailah.” Ini kata-kata untuk para pekerja yang bingung akan resign atau terus melanjutkan pekerjaannya.

24 jam terbentang di hadapanmu setiap pagi, bukan untuk mencari uang, melainkan untuk hidup. Jangan kalah dengan rayuan untuk melarikan diri, jalani masa kini dengan penuh semangat, sebab bukan uang yang kamu investasikan, melainkan hidupmu sendiri.” – Thich Nhat Hanh

Hanya karena merasa paling dekat, bukan berarti kita bisa bertingkah sesuka hati. Semakin kita yakin bahwa kita dekat dan semakin lama kita menghabiskan waktu bersama, semakin kita harus memperhatikan perasaan orang tersebut.” Hal ini berlaku tidak hanya untuk sahabat kita saja, tapi juga untuk keluarga kita. Karena ternyata-tidak hanya aku yang merasakan-bahwa kita lebih sering bersikap seenaknya pada orang tua dan saudara kita sedangkan pada orang yang tidak kita kenal kita jauh lebih santun.

Charlie Chaplin pernah berkata, ‘Dari jauh, hidup tampak seperti komedi, padahal jika dilihat dari dekat hidup adalah sebuah tragedi’. Di dunia ini, siapa yang tidak menderita? Begitulah, hidup ini adalah penderitaan bagi kita semua.
Apakah kamu masih berpikir bahwa hanya kamu yang menderita? Jangan lupa, seluruh penduduk bumi ini juga hidup dengan pikiran seperti itu. Mungkin sulit dipercaya, tetapi di luar sana, ada seseorang yang juga sedang berpikiran sama dan iri terhadapmu. Semangat!”

Kita beranggapan orang lain sedang mengamati kita, padahal sebenarnya kita sendirilah yang sedang melihat diri kita.”

Cobalah tengok laci di hatimu. Ada apa di dalamnya? Mimpi-mimpi yang ditumpuk dengan asas kapan-kapan itu, masihkah ada disana? Atau justru sudah membeku?

Kini, keluarkan. Kibas debunya, beri air, nyalakan api, lalu hangatkan kembali mimpimu yang sudah teronggok itu.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku: The Book of Invisible Questions by Lala Bohang #4

Are you ready for 'Think Again'?